
PALEMBANG | Inspirasines.com – Langit Palembang tampak cerah pagi itu, Sabtu 15 Oktober 2022. Di balik gedung TVRI Sumatera Selatan, tampak sekelompok pelajar berseragam rapi sedang menata kostum, merias wajah, dan berlatih dialog dengan semangat yang tak biasa.
Mereka bukan artis terkenal. Mereka adalah siswa-siswi Madrasah Aliyah Patra Mandiri Palembang, yang hari itu mencatat sejarah kecil: tampil dalam program perdana “Pentas Teater Sekolah” bersama Forum Teater Sekolah Sumatera Selatan (FORTASS) dan TVRI Sumsel.
Pertunjukan itu berjudul “Puyang Leluhur”, sebuah naskah karya dan garapan Eka Armawati, S.Pd., guru muda yang sekaligus sutradara Teater Sangsas. Dengan durasi empat puluh menit, naskah sederhana itu menghidupkan kisah mistik dan nilai tradisi lokal di atas panggung yang kini berpindah ke layar kaca.
Bagi Eka, momen ini bukan sekadar pementasan, tetapi bukti bahwa semangat berkesenian bisa tumbuh di mana saja — bahkan di sekolah yang jauh dari gemerlap dunia seni profesional. “Kami belajar dari awal, bagaimana berdiri di depan kamera, menghafal dialog, dan bekerja sama dalam tim. Ini pengalaman yang luar biasa,” ujarnya tersenyum.
Seni yang Menyala dari Sekolah
Program yang digagas FORTASS sejak Agustus 2022 ini menjadi langkah baru dalam dunia pendidikan Sumatera Selatan. Di tengah rutinitas sekolah yang penuh angka dan teori, teater hadir sebagai ruang tumbuh — tempat siswa belajar mengolah emosi, bekerja dalam tim, dan mengekspresikan gagasan mereka dengan cara yang indah.
Menurut Yosep Suterisno, S.E., Ketua FORTASS Sumsel, pementasan “Puyang Leluhur” hanyalah permulaan. “Ini adalah episode pertama dari gerakan panjang. Kami ingin menghadirkan ruang ekspresi bagi anak-anak muda, supaya mereka belajar mencintai budaya dan dirinya sendiri melalui teater,” ungkapnya.
FORTASS tak hanya sekadar komunitas, tetapi sebuah gerakan pembinaan teater sekolah yang kini telah merangkul lebih dari 50 kelompok teater di berbagai kabupaten dan kota di Sumsel. Gerakan ini bekerja sama dengan sekolah, guru seni, dan lembaga kebudayaan — termasuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan serta TVRI Sumsel — untuk menghadirkan wadah kreatif bagi generasi muda.
Dari Kritik Menjadi Energi
Usai pementasan, program dilanjutkan dengan sesi “Bedah Panggung” menghadirkan Toton Dai Permana, pelaku teater senior yang telah menapaki dunia panggung sejak 1979. Dengan hangat ia memberikan masukan: tentang pentingnya penguatan naskah, keaktoran, dan sentuhan tradisi lokal dalam pementasan.
“Teater sekolah ini sudah bagus, tapi perlu terus berlatih. Kalau ada unsur mistik lokal, akan lebih hidup bila ditambah musik dan sastra lisan daerah — geguritan, tadud, atau nyanyian rakyat. Itu yang membuat teater punya ruh,” ujar Toton, yang juga pendiri Teater 707 Palembang.
Alih-alih tersinggung, Eka Armawati justru tersenyum. “Kami siap belajar. Ini proses panjang. Saya dan anak-anak ingin memahami teater lebih dalam, bukan hanya tampil, tapi juga belajar maknanya,” katanya.
Bagi Eka, kritik bukan tembok, tetapi energi untuk tumbuh.
Menyalakan Panggung yang Lebih Luas
Program Pentas Teater Sekolah di TVRI Sumsel kini menjadi agenda rutin setiap bulan sejak 2023. Yosep Suterisno menyebutnya sebagai bentuk “panggung pendidikan karakter.”
“Teater melatih anak berpikir kritis, percaya diri, dan berani berbicara. Ini ruang pendidikan yang sesungguhnya. Dan TVRI memberi kita kesempatan emas untuk memperluas dampaknya,” jelas Yosep.
Dengan kurasi ketat dari tim FORTASS, setiap teater sekolah yang tampil tak hanya dinilai dari kualitas artistik, tapi juga nilai pendidikan dan orisinalitas naskah.
“Ini bukan lomba, tapi ruang belajar bersama. Setiap anak punya cerita, dan teater membantu mereka menemukan cara bercerita yang paling jujur,” tambahnya.
Ruang Inspirasi dari Sekolah
Apa yang dilakukan FORTASS dan TVRI Sumsel bukan sekadar menayangkan pertunjukan, melainkan membangun ekosistem seni dan pendidikan yang saling menguatkan. Dari sini, guru dan siswa tak hanya menjadi penonton, tapi pelaku aktif dalam budaya lokal mereka sendiri.
Kini, dari Palembang hingga Ogan Komering Ilir, dari pesantren hingga SMK, semangat yang sama terus menyala: teater sebagai cermin karakter dan kebersamaan.
Di akhir wawancara, Yosep menutup dengan kalimat sederhana namun dalam:
“Kami ingin anak-anak tahu bahwa teater bukan sekadar akting. Ini adalah cara belajar tentang kehidupan.”
Dan di studio TVRI yang kini sepi, lampu sorot dimatikan satu per satu. Tapi di hati para pemain muda itu, panggung tetap menyala.
TEKS / FOTO : TIM REDAKSI FORTASS | EDITOR : AHMAD MAULANA



















