Beranda Budaya Langit yang Disemai Garam : Sumsel Lakukan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC)

Langit yang Disemai Garam : Sumsel Lakukan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC)

290
0
BERBAGI
Kepala Stasiun Meteorologi SMB II Palembang, saat menjadi pembicara dalam dialog interaktif bertema “OMC sebagai Langkah Strategis Cegah Karhutla di Musim Kemarau”, Selasa, 30 Juli 2025.

Palembang, Inspirasinews.comLangit musim kemarau di Sumatera Selatan memang kering, tapi tidak dibiarkan kosong. Sejak pertengahan Juli lalu, pesawat-pesawat berbadan kecil hilir mudik di atas wilayah OKI, Ogan Ilir, Banyuasin, dan Musi Banyuasin, membawa muatan yang tak lazim: garam.

Sebanyak satu hingga tiga kali sehari, 800 kilogram hingga 1 ton garam disemai dari ketinggian 6.000 kaki, menembus awan-awan cumulus yang menggumpal di langit. Tujuannya satu: memancing hujan buatan, yang dalam istilah teknis disebut Operasi Modifikasi Cuaca (OMC).

“Ini bagian dari upaya strategis mencegah karhutla sejak dini,” kata Siswanto, Kepala Stasiun Meteorologi SMB II Palembang, saat menjadi pembicara dalam dialog interaktif bertema “OMC sebagai Langkah Strategis Cegah Karhutla di Musim Kemarau”, Selasa, 30 Juli 2025.

Menurut Siswanto, istilah “hujan buatan” kurang tepat. “Yang kita lakukan bukan menciptakan hujan dari langit kosong, tapi merekayasa atmosfer agar awan yang sudah ada bisa diinduksi,” ujarnya.

OMC menjadi senjata andalan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan setelah status siaga darurat kabut asap ditetapkan lewat SK Gubernur tertanggal 17 Juni 2025.

Fokus penyemaian diarahkan ke wilayah gambut yang dianggap paling rawan terbakar—wilayah yang selama ini menjadi langganan titik api setiap musim kemarau.

Secara teknis, proses OMC bergantung pada banyak variabel: keberadaan awan cumulus, kelembaban relatif, arah dan kecepatan angin. Radar cuaca dan satelit menjadi alat bantu utama untuk menentukan kapan dan di mana pesawat harus diterbangkan.

Sesi pertama OMC telah dilakukan pada 13–18 Juli. Kini, pelaksanaan sesi kedua tengah dirancang, menyusul prediksi BMKG bahwa puncak kemarau akan terjadi pada Agustus hingga September. Bila awan memungkinkan, pesawat akan kembali menyemai garam.

Namun Siswanto menyadari, teknologi modifikasi cuaca bukan solusi tunggal. Karena itu, OMC digerakkan lewat kolaborasi lintas lembaga: BNPB, BPBD, TNI/Polri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta perusahaan swasta.

“Kalau hanya mengandalkan langit, kita kalah,” katanya.

Sudirman, Kepala Bidang Kesiapsiagaan BPBD Sumsel, menambahkan bahwa efektivitas OMC sangat bergantung pada kondisi awan. Semakin sedikit awan, semakin kecil peluang sukses. Ia mencatat beberapa hotspot sudah muncul di OKI, Ogan Ilir, dan sepanjang Tol Palembang–Prabumulih.

“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa 99 persen karhutla berasal dari aktivitas manusia,” katanya. Sisanya disebabkan faktor alam, seperti angin kencang atau sambaran petir.

Data yang dihimpun BPBD menunjukkan pola yang berulang setiap tahun: pembukaan lahan dengan cara dibakar masih terjadi, meski sudah dilarang. Apalagi di wilayah gambut, api yang tersulut bisa bertahan berminggu-minggu di bawah permukaan dan sulit dipadamkan tanpa hujan deras.

Karena itu, BPBD Sumsel mengandalkan tiga pendekatan paralel: peningkatan patroli udara, sistem peringatan dini berbasis data BMKG, serta kampanye intensif ke masyarakat. Mereka juga mendorong pengelolaan lahan kosong agar memiliki nilai ekonomi—dengan asumsi bahwa lahan yang dimanfaatkan kecil kemungkinannya dibakar.

“Respons cepat dari masyarakat sangat krusial,” kata Sudirman. “Kalau lihat tanda-tanda kebakaran, segera laporkan ke aparat desa atau kecamatan.”

Langit Sumsel yang kering masih belum menjanjikan hujan. Tapi lewat garam dan kerja sama antarinstansi, pemerintah berharap tak ada lagi kabut asap yang menyelimuti jalanan, sekolah, dan ruang rawat inap rumah sakit, seperti tragedi tahunan yang terus menghantui sejak dua dekade lalu.

TEKS : YULI  |  EDITOR : IMRON SUPRIYADI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here