Palembang, Inspirasinews.com — Bagi wartawan yang bekerja di ruang digital, ancaman tak selalu datang dari medan liputan. Dalam banyak kasus, gugatan hukum bisa datang lebih cepat dari klarifikasi.
Sadar akan kenyataan itu, Dewan Pimpinan Daerah Pro Jurnalis media Siber (DPD PJS) Sumatera Selatan bergerak membangun perlindungan di sektor yang selama ini kerap disepelekan: hukum.
Akhir Juli lalu, organisasi ini resmi menggandeng Kantor Hukum Yogi Vitagora, SH, M.Kn & Rekan sebagai tim kuasa hukum mereka.
Langkah itu diumumkan usai pertemuan yang digelar pada Rabu, 30 Juli 2024, di Palembang. Pengumuman kerja sama disampaikan Ketua DPD PJS Sumsel, Edi Triono, dalam pernyataan resmi awal pekan ini.
“Rekan-rekan jurnalis butuh kepastian, bukan hanya idealisme,” kata Edi. “Kehadiran penasihat hukum adalah cara kami memastikan bahwa organisasi ini berdiri di atas fondasi yang kokoh, bukan sekadar semangat.”
Dari Liputan ke Laporan Polisi
Langkah ini menyoroti kondisi lapangan yang dihadapi jurnalis, terutama mereka yang bekerja di platform daring. Dengan kecepatan distribusi berita dan aksesibilitas publik terhadap konten, risiko gugatan atas pelanggaran etika, pencemaran nama baik, hingga sengketa kode etik, menjadi persoalan harian.
Yogi Vitagora, pengacara muda yang baru menyelesaikan studi magister kenotariatan di Universitas Indonesia Yogyakarta, menyambut ajakan itu sebagai panggilan profesi—atau mungkin panggilan zaman.
“Saya melihat PJS Sumsel punya semangat membangun sistem kerja jurnalistik yang tertib dan bertanggung jawab,” ujar Yogi saat dihubungi. “Ini bukan hanya soal membela, tapi juga mendidik.”
Bagi Yogi, kerja sama ini bukan sekadar membela di pengadilan, melainkan ikut mengedukasi para jurnalis agar memahami batas-batas kerja mereka. Ia menyebut akan ada sesi pendampingan, penyuluhan, dan konsultasi rutin yang difasilitasi oleh kantornya.
Antara Kebebasan dan Kepatuhan
DPD PJS Sumsel bukan organisasi pers pertama yang membangun jalur konsultasi hukum. Namun, langkah mereka menandai perubahan paradigma penting dalam ekosistem jurnalisme lokal.
Di tengah derasnya arus digital, para jurnalis tak hanya berhadapan dengan narasumber atau aparat, tapi juga algoritma, opini publik, hingga jerat hukum yang semakin kompleks.
Di Sumatera Selatan, beberapa kasus pelaporan terhadap media lokal terjadi dalam lima tahun terakhir, sebagian besar berkaitan dengan pemberitaan tokoh publik. Meski tak semua berujung pidana, tekanan psikologis dan reputasi organisasi kerap jadi korban.
Edi Triono menyadari risiko itu. Sejak dilantik sebagai Ketua PJS Sumsel pada 16 Juni 2025, ia mulai merancang kerangka kerja organisasi yang tak hanya solid dalam keanggotaan, tetapi juga punya sistem pertahanan yang andal.
“Kalau kita ingin profesional, ya semua sektor harus kuat. Termasuk hukum,” kata Edi.
Jurnalis Bukan Musuh
Di tengah kaburnya batas antara kritik dan delik, kerja jurnalis kerap ditafsirkan bebas oleh siapa saja. Ada yang menyamakan kritik dengan pencemaran nama baik. Ada pula yang menafsirkan liputan investigatif sebagai serangan pribadi.
Yogi memahami kondisi itu. Karena itu, selain pendampingan saat perkara muncul, ia menekankan pentingnya pencegahan.
“Kita ingin jurnalis paham posisi hukumnya sebelum masalah datang. Itu lebih penting,” ujarnya.
Fondasi Baru
Kantor hukum yang dipimpinnya berkedudukan di Jalan Inspektur Marzuki, Palembang. Tak jauh dari keramaian pusat kota, kantor itu kini menjadi salah satu tempat “bernaung” bagi para pewarta siber. Di sana, bukan hanya perkara diselesaikan, tapi juga rencana-rencana dibicarakan.
Kolaborasi ini mungkin belum akan menyelesaikan seluruh persoalan pers daerah. Tapi setidaknya, ini mengirim pesan: jurnalisme bukan ruang bebas risiko, dan wartawan bukan makhluk kebal hukum. Namun selama bekerja dengan niat baik dan pengetahuan yang cukup, hukum bukan untuk ditakuti—melainkan dipahami dan dijalani.
TEKS : YULIE AFRIANI | EDITOR : IMRON SUPRIYADI