
Palembang, Inspirasinews.com — Di balik tembok tinggi Rumah Tahanan Kelas I Palembang, aroma kopi menyeruak. Bukan dari kantin petugas, melainkan dari bengkel kerja tempat warga binaan menyangrai biji-biji kopi dengan tangan terampil.
Di atas meja sederhana, barisan kemasan bertuliskan “Ratu Lembang” tersusun rapi—kopi racikan narapidana yang tengah bersiap menembus pasar nasional.
Inilah salah satu wajah baru rutan yang sedang dirintis oleh M. Rolan, Kepala Rutan Kelas I Palembang yang baru dua bulan menjabat. Di bawah komandonya, tempat ini tak lagi sekadar ruang tahanan, melainkan pelatihan keterampilan hidup.
“Kalau hanya dihukum tanpa dibekali apa-apa, bagaimana mereka mau pulih ke masyarakat?” ujar Rolan, Sabtu siang, awal Agustus lalu. Ia duduk di tengah gelaran Coffee Morning bersama wartawan lokal, sebuah forum yang ia gagas sejak hari-hari awal memimpin.
Proyek kopi “Ratu Lembang” adalah langkah berani yang diambil Rolan. Nama itu, akronim dari Rutan Satu Palembang, dipilih untuk memberi identitas sekaligus kebanggaan. “Kami ingin mereka merasa terlibat dalam sesuatu yang bermakna,” kata Rolan.
Para narapidana dilibatkan sejak proses paling awal: memilah biji, menyangrai, menggiling, hingga menyegel kemasan. Semuanya dilakukan secara manual, dengan teknik yang diajarkan oleh pelatih dari luar yang bekerja sama dengan pihak rutan.
Bagi para penghuni rutan, proyek ini menjadi semacam oase. Mereka yang sebelumnya hanya mengandalkan waktu untuk menunggu hari bebas, kini mulai merancang cita-cita kecil: membuka warung kopi, menjadi barista, atau sekadar bisa menyeduh kopi dengan rasa percaya diri.
“Beda rasanya kalau kita tahu prosesnya,” kata Hendra (bukan nama sebenarnya), narapidana kasus narkoba yang kini bertugas di bagian pengemasan. Tangannya cekatan menyusun label, sementara matanya tak lepas dari garis batas stiker.
Bukan Sekadar Aroma
Kopi hanyalah satu bagian dari perubahan yang mulai terasa di rutan ini. Di bawah Rolan, pendekatan humanis menjadi arah pembinaan baru. Ia menyebut tiga pilar transformasi: digitalisasi layanan, penguatan saluran pengaduan, dan kemandirian berbasis UMKM.
Namun, program ini tidak lepas dari tantangan. Terbatasnya sarana, minimnya anggaran, dan masih tebalnya stigma publik terhadap narapidana menjadi batu sandungan yang tak bisa diabaikan. “Butuh keberanian untuk meyakinkan banyak pihak bahwa mereka masih punya potensi,” kata Rolan.
Itulah sebabnya, Coffee Morning bukan hanya ajang minum kopi. Forum ini menjadi sarana membangun komunikasi strategis antara rutan dan publik. Dalam dua bulan terakhir, agenda ini digelar dua kali—momen langka di lingkungan pemasyarakatan.
Aroma yang Menembus Dinding
Dari balik jeruji, aroma kopi “Ratu Lembang” perlahan menembus keluar. Sudah ada wacana menggandeng mitra lokal untuk memperluas distribusi. Rolan menyebut, jika semua berjalan lancar, produknya akan masuk ke toko oleh-oleh di Sumatera Selatan hingga etalase daring.
Di tengah keterbatasan, rutan ini mencoba menawarkan satu hal yang kerap luput dari perbincangan pemasyarakatan: harapan. Bahwa di balik identitas pelanggar hukum, manusia tetap bisa belajar, bekerja, dan bermimpi.
Barangkali, suatu hari nanti, Anda akan menyeruput kopi di kafe pinggir jalan. Aromanya nikmat, rasanya pekat. Dan tak pernah Anda sangka, secangkir itu adalah karya dari tangan-tangan yang tengah berjuang merebut kembali martabatnya.