
Pagi itu, Rabu (13/08/2025) matahari Palembang sudah tinggi ketika halaman MAN 3 mulai penuh warna. Di lapangan, suara musik senam menggema, diiringi gerak kompak para pegawai, guru madrasah, dan ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan.
Kain jilbab yang berkibar-kibar tertiup angin seakan ikut menari. Tawa renyah, aroma keringat, dan semangat yang terpancar dari wajah-wajah itu menjadi tanda: ini bukan sekadar lomba. Ini adalah cara mereka mengucap syukur kepada Tuhan atas 80 tahun kemerdekaan yang dianugerahkan kepada bangsa.
Di bawah langit Agustus yang cerah, Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan menggelar Gebyar Lomba HUT ke-80 RI. Tidak hanya olahraga dan permainan, tapi juga aksi sosial donor darah — sebuah penanda bahwa cinta tanah air tidak hanya dirayakan dengan bendera dan lagu, tapi juga dengan setetes darah untuk sesama.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin memperkokoh silaturahmi dan peran perempuan di Hari Kemerdekaan,” ujar Hj. Emilia Syafitri Irwan, Ketua DWP Kanwil Kemenag Sumsel, dengan senyum yang tulus.

Kata-katanya sederhana, tapi terasa mengandung panggilan hati. Dalam setiap gerakan dan langkah, para perempuan Dharma Wanita ini mencoba menorehkan arti kemerdekaan dalam bentuk yang paling manusiawi: berkumpul, tertawa, dan saling menguatkan.
Rangkaian lomba yang digelar memang terdengar akrab: rebutan botol, memasukkan paku ke botol, berebut kursi, baris-berbaris, estafet bola.
Ada juga karaoke lagu kebangsaan, yang membuat suasana aula MAN 3 seperti ruang keluarga raksasa—penuh suara, kadang fals, tapi hangat dan jujur.
Bagi Kakanwil Kemenag Sumsel, Dr H. Syafitri Irwan, S.Ag, M.Pd.I, kegiatan ini bukan sekadar hiburan. Dalam arahannya, ia mengingatkan bahwa persatuan lahir dari kebersamaan yang nyata, dari pertemuan tatap muka, dari peluh yang sama-sama menetes di bawah matahari.
“Jadikan lomba dan aksi sosial ini sebagai upaya meningkatkan kecintaan kepada bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia,” pesannya.
Suasana semakin mengalun khidmat ketika dibacakan pesan dari Penasihat DWP Kemenag RI, Hj. Helmi Nasaruddin Umar.
Pesan itu berbunyi seperti amanat dari seorang ibu bangsa: perempuan harus meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, mempertahankan persatuan, membangun karakter, dan berkiprah sesuai potensinya. Di tengah gempuran modernitas dan distraksi zaman, kata-kata itu terasa seperti penuntun jalan.
Di sela-sela perlombaan, tampak para peserta donor darah berbaring tenang di kursi lipat. Ada yang menutup mata, ada yang bercakap pelan dengan petugas PMI.
Setetes darah yang keluar adalah bentuk cinta yang paling diam—tidak banyak kata, tidak ada sorak-sorai, tapi menyelamatkan nyawa.
Siapapun dia, jika berada di sana, mungkin akan menulis bahwa kemerdekaan sejati bukanlah milik para pejabat atau tentara saja.
Ia juga hidup di tangan seorang guru yang berpeluh di lapangan, di senyum ibu-ibu Dharma Wanita yang memegang botol hadiah lomba, atau di lengan seorang ASN yang tengah didonorkan darahnya untuk orang asing yang mungkin tak pernah ia kenal.
Maka Gebyar Lomba HUT ke-80 RI versi Kemenag Sumsel ini terasa seperti mozaik: potongan-potongan kecil kebahagiaan, kepedulian, dan pengorbanan yang disatukan menjadi lukisan besar bernama cinta NKRI.
Tak ada hiruk pikuk politik, tak ada orasi panjang, hanya manusia-manusia biasa yang ingin berkata: kami mencintai negeri ini dengan cara kami sendiri.
Dan ketika acara ditutup, matahari sudah miring ke barat. Bendera Merah Putih di halaman MAN 3 Palembang tetap berkibar, seakan mengangguk pada semua yang hadir. Seolah ia berkata, “Terima kasih, anak-anak negeri. Teruslah mencintai tanah air ini, dalam tawa, peluh, dan doa.”
TEKS : AHMAD MAULANA | EDITOR : IMRON SUPRIYADI