
PALEMBANG | Inspirasinews.com – Di sebuah siang yang hangat, menjelang perayaan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, sebuah pemandangan sederhana menyentuh hati: petugas berseragam mengetuk pintu rumah demi rumah di Palembang.
Bukan untuk menegakkan aturan, bukan pula menjalankan tugas rutin di balik jeruji, melainkan membawa paket sembako dengan senyum dan sapaan hangat.
Di balik karung beras dan minyak goreng itu tersimpan pesan penting: kemerdekaan bukan sekadar upacara, melainkan ruang untuk berbagi, peduli, dan menguatkan sesama.
Dari Balik Tembok Penjara, Lahir Teladan Sosial
Biasanya, ketika orang mendengar kata “Rutan” atau “Lapas”, yang muncul adalah gambaran pagar tinggi, jeruji besi, dan pembinaan warga binaan.
Namun, pada 15 Agustus 2025 lalu, citra itu bertransformasi. Rutan Kelas I Palembang bersama jajaran Unit Pemasyarakatan Sumatera Selatan menebarkan wajah lain: wajah yang peduli pada masyarakat sekitar.
Bersama Lapas Kelas I Palembang, LPKA, Rupbasan, Bapas, hingga Lapas Narkotika Banyuasin dan Lapas Perempuan Palembang, mereka bergerak serentak.
Sasarannya bukan aula megah atau seremoni resmi, melainkan gang sempit, rumah sederhana, dan panti asuhan—ruang-ruang tempat kebutuhan hidup terasa nyata.
Kepala Rutan Kelas I Palembang, M. Rolan, menyebut kegiatan ini sebagai momen berharga.
“Melalui bakti sosial ini, kami ingin menunjukkan bahwa Pemasyarakatan hadir dan bermanfaat untuk masyarakat. Semoga bantuan ini meringankan kebutuhan dan membawa kebahagiaan di tengah peringatan kemerdekaan,” katanya.
Pernyataan itu sesungguhnya mengandung nilai pendidikan: lembaga negara bisa belajar untuk tidak hanya hadir dalam bentuk regulasi dan pengawasan, tetapi juga dalam empati sosial.
Pendidikan Empati: Pelajaran dari Sembako
Apa arti sebuah paket sembako? Nilainya mungkin tak seberapa, tetapi pesan yang menyertainya jauh lebih besar.
Setiap kali sebuah pintu diketuk dan sebuah bingkisan berpindah tangan, yang terbangun adalah rasa dihargai.
Bahwa ada yang peduli, ada yang mau turun tangan, ada yang ingin berbagi.
Inilah pendidikan sosial yang sering terlupakan: bahwa kepedulian adalah hakikat kemerdekaan.
Generasi muda bisa belajar dari sini bahwa merayakan 17 Agustus tak melulu lomba balap karung atau panjat pinang. Ada cara lain yang lebih mendidik—menyentuh langsung kehidupan orang lain.
Menghidupkan Nilai-Nilai Gotong Royong
Kegiatan ini juga mengingatkan kita pada filosofi lama bangsa: gotong royong.
Nilai yang sering didengungkan di kelas PPKn atau dalam pidato resmi, kini menemukan bentuk nyatanya.
Ketika petugas pemasyarakatan yang biasanya menjaga warga binaan justru turun langsung membantu masyarakat, ada jembatan sosial yang dibangun.
Inilah pendidikan kebangsaan dalam arti sesungguhnya: belajar bahwa setiap profesi, sekecil apa pun, bisa menjadi saluran kebaikan. Bahwa setiap orang, meski terbatas perannya, tetap punya ruang untuk berbagi.
Inspirasi dari Gang-Gang Kecil
Seorang ibu di salah satu rumah sederhana tersenyum haru menerima sembako. “Alhamdulillah, ini sangat membantu untuk kebutuhan anak-anak,” ucapnya lirih. Senyum itu lebih fasih dari seribu kata.
Momen kecil semacam inilah yang menjadi inspirasi. Bahwa kebaikan tidak selalu besar, megah, dan tampak di televisi. Kadang ia berwujud sederhana, mengetuk pintu rumah orang lain, menyapa, dan memberikan sedikit yang kita punya.
Merdeka Adalah Membuat Orang Lain Tersenyum
Bakti sosial ini sejalan dengan slogan “Pemasyarakatan Pasti Bermanfaat untuk Masyarakat.” Namun, lebih dari sekadar slogan, ia menjadi praktik nyata pendidikan karakter.
Generasi muda, para pembaca, bisa mengambil pelajaran: kemerdekaan sejati adalah ketika kita bisa membuat orang lain tersenyum.
Indonesia sudah merdeka 80 tahun. Tetapi tugas kita hari ini bukan hanya menjaga kemerdekaan itu, melainkan merawat nilai-nilai yang menjadi rohnya: kepedulian, gotong royong, dan empati.
Dan siapa sangka, pelajaran itu justru datang dari balik tembok penjara.
TEKS : YULIE AFRIANI | EDITOR : IMRON SUPRIYADI