Beranda Agama Selingkuh Itu Nikmat

Selingkuh Itu Nikmat

11
0
BERBAGI
Oleh : Imron Supriyadi, Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Laa Roiba Muaraenim

Kata “selingkuh” biasanya membuat alis orang terangkat, telinga panas, dan jantung berdebar.

Bayangan pertama yang muncul adalah seorang suami yang meninggalkan istrinya untuk bersenang-senang sejenak dengan perempuan lain.

Atau seorang istri yang melupakan lelaki sahnya, untuk kemudian berlabuh sebentar di pelukan laki-laki lain. Singkatnya: pengkhianatan.

Dalam kamus sosial kita, selingkuh berarti mengingkari janji pernikahan. Meninggalkan ikatan agung yang disebut mitsaqan ghalidza itu, demi pelarian sesaat. Maka wajar bila begitu kata ini disebut, hampir semua orang bereaksi cepat: menolak, menghujat, bahkan mengutuk.

Tetapi benarkah selingkuh selalu sebegitu gelap, sebegitu nista, dan sebegitu hina?

Saya tidak hendak membenarkan perselingkuhan dalam arti awam. Tidak. Tetapi saya ingin mengajak kita untuk meminjam kata itu, menggesernya sedikit, lalu menaruhnya dalam ruang rohani kita. Sebab hidup ini penuh dengan kata-kata yang sering salah alamat. Kata yang asalnya buruk, bisa jadi pintu cahaya. Kata yang awalnya manis, bisa juga jadi jebakan.

Menggeser Makna

Kalau selingkuh artinya meninggalkan pasangan sah untuk sejenak bersama yang lain, maka bukankah dalam kehidupan beragama kita pun sering diminta untuk “berselingkuh”?

Di sepertiga malam, misalnya, kita diminta meninggalkan istri kita yang tercinta, meninggalkan kasur empuk, meninggalkan selimut hangat, bahkan meninggalkan hasrat syahwat yang sah sekalipun, untuk kemudian berselingkuh dengan Sang Kekasih Agung. Kita mengendap pelan-pelan, mengambil air wudhu, lalu bersimpuh di atas sajadah.

Bukankah itu juga perselingkuhan?

Kita meninggalkan sesuatu yang sah, halal, bahkan dianjurkan, untuk memilih sesuatu yang lebih dalam, lebih nikmat, lebih agung. Kita berselingkuh bukan dengan manusia, melainkan dengan Tuhan.

Selingkuh dengan Sang Pencinta

Dalam kehamabaan, perselingkuhan ini justru wajib. Kita harus sesekali melupakan harta benda, melepaskan kebanggaan sosial, menyingkirkan segala atribut duniawi yang kita cintai. Bahkan cinta pada istri, anak, keluarga, dan rumah tangga pun harus kita letakkan sebentar di pinggir jalan, agar kita bisa menghadap satu-satunya Pencinta Sejati.

Sebab semua yang kita miliki di dunia ini sifatnya hanya sementara. Istri kita, seindah apa pun wajahnya, sehangat apa pun pelukannya, kelak akan kita tinggalkan.

Anak-anak kita, secantik apa pun senyum mereka, tidak akan menemani kita masuk liang kubur. Harta benda kita, setinggi apa pun menara rumah dan saldo tabungan, tidak akan ikut menyeberang ke alam baka.

Maka kita harus belajar berselingkuh. Meninggalkan semua yang fana, agar bisa setia kepada yang abadi.

Nikmatnya Selingkuh

Selingkuh dengan Tuhan itu nikmatnya tidak bisa ditandingi. Mereka yang pernah bangun malam, berwudhu dengan air dingin, lalu bersujud dalam hening, tahu betul rasa itu. Ada rasa bebas, ada rasa dekat, ada rasa penuh yang sulit diucapkan.

Kalau selingkuh dengan manusia biasanya meninggalkan penyesalan, selingkuh dengan Tuhan justru menghadirkan ketenangan. Kalau selingkuh dengan manusia seringkali menguras air mata, selingkuh dengan Tuhan justru meneteskan air mata yang menyembuhkan.

Kita datang kepada-Nya tanpa riasan, tanpa topeng, tanpa status sosial. Kita hanya membawa diri yang rapuh, hati yang compang-camping, dan jiwa yang haus. Dan anehnya, justru di situlah nikmatnya.

Masyarakat yang Anti-Selingkuh

Saya tahu, kalau di forum umum saya berkata, “Izinkan aku selingkuh,” pasti orang akan marah. Mereka akan mengira saya hendak mengkhianati istri saya.

Padahal yang saya maksud adalah: izinkan aku berselingkuh dari segala hiruk pikuk dunia, untuk sebentar saja berjumpa dengan Tuhanku.

Kita hidup di masyarakat yang seringkali hanya paham satu lapis makna. Kata “selingkuh” langsung ditarik ke ranjang, ke kamar hotel, ke kisah rumah tangga yang porak poranda. Jarang yang mau menarik kata itu ke ruang batin, ke ranah rohani, ke panggung penghambaan.

Padahal, bukankah bahasa itu milik kita bersama? Bukankah kita bisa menafsirkannya dalam cara pandang yang berbeda?

Latihan Meninggalkan

Selingkuh dengan Tuhan pada dasarnya adalah latihan meninggalkan. Latihan melepaskan. Latihan untuk sadar bahwa kita tidak benar-benar memiliki apa pun.

Di malam hari, kita diminta meninggalkan ranjang. Siang hari, kita diminta meninggalkan makanan dan minuman ketika berpuasa.

Dalam hidup, kita diminta meninggalkan ego, kesombongan, kebencian. Semua latihan itu intinya sama: agar kita terbiasa “berselingkuh” dari dunia, untuk bisa pulang ke asal kita yang sejati.

Kalau kita tidak pernah berlatih meninggalkan, kita akan kaget ketika ajal datang. Kita akan menjerit, sebab selama ini terlalu lekat dengan dunia. Padahal, dunia ini hanya rumah singgah, bukan rumah tetap.

Selingkuh dan Setia

Ada paradoks yang indah di sini: justru dengan berselingkuh kepada Tuhan, kita bisa setia kepada manusia. Orang yang pernah merasakan nikmatnya sujud malam, akan lebih mudah setia kepada istri, lebih sayang pada anak, lebih ikhlas dalam bekerja. Sebab ia sudah kenyang dengan cinta yang tak terbatas.

Sebaliknya, orang yang tak pernah merasakan nikmatnya berselingkuh dengan Tuhan, bisa saja terus mencari cinta ke sana-sini. Ia lapar. Ia haus. Ia kosong. Dan ia mencoba mengisi kekosongan itu dengan cinta terlarang.

Maka, jangan buru-buru marah ketika mendengar kata “selingkuh.” Bisa jadi ia sedang bicara tentang selingkuh yang benar: selingkuh yang nikmat, selingkuh yang membuat kita lebih setia, selingkuh yang membawa kita pulang.

Menggeser Makna Selingkuh

Saya menulis ini bukan untuk membenarkan pengkhianatan rumah tangga. Tidak. Saya menulis ini untuk mengajak kita menggeser makna. Bahwa selingkuh, dalam dimensi spiritual, justru bisa menjadi ibadah.

Selingkuh itu nikmat — kalau yang kita tuju adalah Dia. Selingkuh itu indah — kalau yang kita tinggalkan hanyalah bayangan dunia. Selingkuh itu wajib — kalau yang kita selingkuhi adalah Sang Pencinta, Sang Pemilik, Sang Maha.

Dan kalau kita sudah bisa berselingkuh dengan Tuhan setiap malam, setiap sujud, setiap doa, mungkin kita tidak akan pernah lagi tergoda untuk berselingkuh dengan manusia. Sebab kita sudah kenyang dengan cinta yang lebih nikmat, lebih murni, lebih setia.**

IAIN RF Palembang, 1995-1996 (Tulisan ini pernah dimuat / disiarkan melalui Majalah Dinding Fakultas Ushuluddin IAIN RF Palembang Periode Kepemimpinan (Dekan Drs H Alwie Hamry).  Ketua Penyunting Mading Budi Santoso (alm). 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here