Beranda Agama Mengantar Syuhada Haji Pulang: Antara Empati dan Kewajiban Negara

Mengantar Syuhada Haji Pulang: Antara Empati dan Kewajiban Negara

18
0
BERBAGI
Kakanwil Kemenag Sumsel, Dr H Syafitri Irwan
Penulis : Dr H. Syafitri Irwan, Kakanwil Kemenag Sumsel

— OPINI —

Siang itu, Rabu 10 September 2025, aula Kanwil Kemenag Sumsel mendadak terasa lebih dingin dari pendingin udaranya sendiri. Di ruang itu hadir Hj. Zaliah, janda almarhum H. Muhammad Ali Djalan, jemaah haji asal OKU Timur yang wafat tiga bulan lalu. Satu kehilangan yang bukan sekadar separuh jiwa; belahan jantung, teman sehidup semati yang dulu disebut dalam ijab qabul, kini hanya tinggal nama di kertas.

Saya berdiam beberapa meter dari Hj. Zaliah ketika kemudian dipanggil untuk menerima santunan.

Aula itu mendadak senyap, hanya terdengar langkah kakinya dan detak keharuan yang pelan masih terasa.

Hj. Zaliah sesaat, menggenggam erat tangan putrinya, Afni, seperti berusaha menahan duka agar tak pecah di hadapan puluhan orang. Ketika saya menyerahkan santunan asuransi, keharuan itu masih sangat tersemburat kedukaan di wajahnya.

Saya bisa merasakan getar tangannya saat menerima santunan yang merupakan hak suaminya—getar yang lebih bercerita daripada seribu kata belasungkawa.

Momen itu membuat aula sederhana tersebut terasa seperti ruang pengakuan kolektif: di balik daftar panjang angka jamaah haji yang wafat, ada wajah-wajah, ada keluarga, ada kehilangan yang nyata.

Saya menyaksikan sendiri betapa santunan bukan sekadar angka, melainkan simbol tanggung jawab moral negara kepada warganya. Setiap prosedur administratif, saya belajar hari itu, harus dibarengi empati—karena di hadapan saya bukan sekadar penerima hak, melainkan seorang istri yang kehilangan separuh hidupnya.

Hari itu, Hj. Zaliah untuk ke sekian kalinya ke Palembang, bukan untuk menuju asrama haji, melainkan untuk menerima santunan asuransi extra cover sebesar Rp130 juta—sebuah hak yang dijanjikan pihak maskapai bagi jemaah haji yang wafat di perjalanan.

Selaku Kakanwil Kemenag Sumsel, secara simbolis saya menyerahkan santunan itu, disaksikan Direktur Pengelolaan Dana Haji dan SIHDU Kemenag, H. Ramadhan Harisman, serta Country Manager Saudia Airlines Indonesia–Singapura–Australia, Faisal S. Alallah. Ini bukan sekadar angka. Ini bentuk tanggung jawab kami untuk melindungi jemaah haji.

Ibadah yang Agung, Risiko yang Nyata

Kita sudah sangat mafhum, haji adalah puncak ibadah dalam Islam. Ibadah yang melibatkan dimensi spiritual, sosial, bahkan geopolitik. Sebab, pada moment ini mempertemukan jutaan umat Islam dari penjuru dunia.

Namun, di balik kesyahduan ritual thawaf dan wuquf di Arafah, kita tidak boleh menutup mata pada risiko fisik yang mengintai.

Setiap tahun, ada jamaah haji Indonesia yang meninggal dunia di tanah suci. Satu diantaranya saudara kita, H. Muhammad Ali Djalan, jemaah haji asal OKU Timur.

Tentu, para jemaah yang wafat bukan sekadar angka statistik, melainkan individu yang telah menabung puluhan tahun, menyiapkan diri lahir batin, dan akhirnya menghembuskan napas terakhir dalam keadaan ihram.

Sebagai negara yang mengatur, membina, dan melayani ibadah haji, kita punya tanggung jawab moral dan legal terhadap para almarhum ini. Kita wajib memastikan pelayanan yang mereka terima bukan saja memenuhi standar administratif, tetapi juga mencerminkan nilai kemanusiaan, pengayoman, dan perlindungan hak jamaah.

Negara, Konstitusi, dan Kewajiban Melindungi Warganya

Konstitusi kita—UUD 1945 Pasal 28I ayat (4)—menyebut negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia.

Dalam konteks ibadah haji, tanggung jawab ini tidak berhenti pada aspek regulasi, tetapi menyentuh pelayanan medis, logistik, transportasi, hingga pendampingan psikososial jamaah.

BACA ARTIKEL TERKAIT  :

Jamaah yang wafat di tanah suci telah melaksanakan hak konstitusionalnya untuk beribadah, maka negara berkewajiban hadir dalam urusan pasca-wafatnya: pengurusan jenazah, hak waris, asuransi, hingga komunikasi dengan keluarga di tanah air.

Penyerahan secara simbolis dilakukan oleh Kakanwil Kemenag Sumsel, Dr H. Syafitri Irwan, S.Ag, M.Pd.I, disaksikan Direktur Pengelolaan Dana Haji dan SIHDU Kemenag, H. Ramadhan Harisman, serta Country Manager Saudia Airlines Indonesia–Singapura–Australia, Faisal S. Alallah.

Secara konstitusional, sejumlah pakar hukum menekankan pentingnya “hukum yang hidup dalam masyarakat”. Maka, pelayanan haji tidak boleh sekadar berbasis regulasi kaku, tetapi juga rasa keadilan sosial yang hidup di tengah umat. Jamaah haji kita adalah warga negara yang memiliki hak yang sama atas perlindungan negara sampai titik akhir perjalanan hidupnya.

Fenomena “Meninggal di Tanah Suci”: Data dan Realitas

Setiap musim haji, Kementerian Agama RI merilis data jamaah yang wafat di Arab Saudi. Misalnya, musim haji 2024 mencatat lebih dari 500 jamaah meninggal—angka yang hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

Banyak di antara mereka adalah lansia dengan risiko kesehatan tinggi. Di Sumatera Selatan, sebagian besar jamaah haji adalah pensiunan dan masyarakat pedesaan yang menabung puluhan tahun.

Sebagai Kakanwil Kemenag Sumsel, saya melihat langsung bagaimana keluarga jamaah yang wafat mengalami duka bercampur rasa ikhlas.

Namun, di balik keikhlasan itu ada pula tuntutan moral: apakah pelayanan kesehatan cukup? Apakah pembimbing ibadah sigap memberi pertolongan? Apakah transportasi dan akomodasi mendukung keselamatan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus kita jawab dengan kebijakan, bukan sekadar belasungkawa.

Moralitas Pelayanan Haji: Antara Manajemen dan Empati

Pelayanan haji adalah kombinasi antara manajemen modern dan empati tradisional. Manajemen memastikan semua prosedur berjalan: penerbangan, hotel, catering, transportasi bus shalawat, serta pelayanan kesehatan.

Namun empati memastikan kita memandang jamaah bukan sebagai “paket logistik” melainkan “jiwa-jiwa yang berangkat untuk memenuhi panggilan Ilahi”.

Konsep ini sejalan dengan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) yang mengutamakan hifzhun nafs (perlindungan jiwa). Artinya, segala kebijakan negara terkait penyelenggaraan haji harus meletakkan keselamatan jamaah di atas segalanya, bahkan di atas target kuota atau efisiensi biaya.

Tanggung Jawab Pasca Wafat: Dari Asuransi hingga Psikososial

Di Indonesia, jamaah haji yang meninggal berhak atas klaim asuransi dan santunan. Namun implementasi di lapangan sering kali menemui hambatan birokrasi. Ada keluarga yang tidak tahu prosedur klaim, ada yang terlambat menerima informasi.

Sebagai pejabat publik, saya memandang perlu pembentukan unit layanan cepat tanggap untuk keluarga jamaah yang wafat.

Unit ini tidak hanya mengurus administrasi, tetapi juga memberi dukungan psikologis. Kita tidak bisa mengembalikan nyawa mereka, tetapi kita bisa memastikan keluarga yang ditinggalkan tidak menghadapi trauma ganda: kehilangan orang tercinta sekaligus kebingungan administratif.

Membangun Ekosistem Haji yang Berkeadilan

Kemenag sebagai regulator dan pelaksana teknis ibadah haji harus membangun ekosistem yang melibatkan banyak pihak: Kemenkes, BPJS Kesehatan, Kemenhub, bahkan BUMN penerbangan dan perbankan syariah. Kolaborasi ini penting agar jamaah haji mendapatkan perlindungan menyeluruh.

Selain itu, lembaga pendidikan dan ormas Islam perlu dilibatkan untuk edukasi pra-haji. Jamaah harus tahu risiko kesehatan, manasik yang benar, hingga prosedur darurat medis. Ini bagian dari ikhtiar negara meminimalkan risiko kematian yang bisa dicegah.

Perspektif Moral: Dari Rakyat untuk Rakyat

Dalam pandangan saya, tanggung jawab moral ini bukan beban negara semata. Umat Islam Indonesia juga harus memiliki kesadaran kolektif: membantu jamaah lansia, memberi edukasi kesehatan, hingga mendukung pelayanan haji yang transparan. Negara hadir sebagai fasilitator utama, tetapi masyarakat pun berperan sebagai pengawas.

Sebagaimana pepatah hukum menyatakan: ”Hukum tanpa moral adalah kering, moral tanpa hukum adalah lemah”. Begitu pula pelayanan haji. Administrasi tanpa empati akan terasa dingin; empati tanpa sistem hanya jadi seremonial. Kita memerlukan keduanya.

Mengantar Mereka Pulang dengan Martabat

Jamaah haji yang wafat di tanah suci sering disebut “syuhada haji” oleh masyarakat kita. Mereka pulang ke hadirat Ilahi dalam keadaan ihram, sebuah kemuliaan yang sulit digambarkan. Namun, kemuliaan itu harus kita lengkapi dengan pelayanan negara yang bermartabat pula.

Negara, melalui Kementerian Agama, tidak hanya memfasilitasi keberangkatan mereka, tetapi juga bertanggung jawab memastikan hak-hak mereka terpenuhi sampai akhir hayat. Ini bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi amanah moral yang harus kita pikul bersama.

Kita berharap di masa mendatang, dengan sinergi pemerintah dan masyarakat, angka kematian jamaah bisa ditekan, kualitas pelayanan meningkat, dan keluarga jamaah yang wafat mendapat kepastian haknya secara cepat dan adil. Pelayanan haji kita harus beralih ke sistem yang lebih berkelanjutan, berbasis kemanusiaan, dan berkeadilan sosial.

Akhirnya, doa kita panjatkan untuk para almarhum jamaah haji Indonesia. Semoga mereka diterima sebagai tamu Allah yang dimuliakan, dan semoga negara kita semakin kuat memegang amanah untuk melayani mereka yang berangkat memenuhi panggilan suci. Aaamiin.**

Palembang, 10 September 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here