Beranda Budaya Menyalakan Layar dari Bumi Sriwijaya, KCFI Sumsel dan Gubernur Temu Muka

Menyalakan Layar dari Bumi Sriwijaya, KCFI Sumsel dan Gubernur Temu Muka

88
0
BERBAGI
FOTO BERSAMA - Usai audiensi, Tim KCFI Sumsel, Disbudpar, Kesbangpol dan Pemprov Sumsel, foto bersama. Rabu (29/10/2025) (Foto.Dok.KCFI Sumsel)

Ketika Pemprov Sumsel dan KCFI Menyulam Mimpi Perfilman Daerah

PALEMBANG | Inspirasinews.com – Di ruang rapat yang berpendingin sejuk di lantai dua Kantor Gubernur Sumatera Selatan, suasana siang itu terasa berbeda.

Bukan karena deretan pejabat atau rapat birokrasi seperti biasanya, melainkan karena yang hadir adalah para pecinta film — para penggerak mimpi di balik kamera.

Mereka datang membawa semangat yang jarang tersentuh: menyalakan kembali layar perfilman daerah dari jantung Palembang.

Komunitas Cinta Film Indonesia (KCFI) Sumsel siang itu diterima langsung oleh Gubernur Sumsel, diwakili Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Sumsel, Dr. Drs. H. Sunarto, M.Si.

AUDIENSI – Suasana audiensi, Tim KCFI Sumsel, Disbudpar, Kesbangpol dan Pemprov Sumsel, foto bersama. Rabu (29/10/2025) (Foto.Dok.KCFI Sumsel)

Audiensi yang sederhana itu justru menjadi titik temu antara dunia birokrasi dan dunia kreatif — dua dunia yang sering kali berjalan di rel berbeda.

Dari pihak pemerintah hadir perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel, Kesbangpol, dan Biro Umum Setda Sumsel.

Sementara dari KCFI, tampak Iwan Darmawan, mantan Ketua DPRD Kota Palembang yang kini menjadi Dewan Pembina KCFI Sumsel, Ketua KCFI Sumsel, Yosep Suterisno, SE, serta sejumlah pengurus lainnya.

Mereka berbicara tentang film bukan sebagai hiburan semata, tetapi sebagai “bahasa kebudayaan” — cara daerah ini menyampaikan identitasnya ke dunia luar.

“Banyak sineas muda di Sumatera Selatan yang punya talenta luar biasa. Pemerintah siap menjadi mitra agar kreativitas mereka tumbuh dan mendapat ruang,” ujar H. Sunarto dengan nada yang tak sekadar seremonial.

Kalimat itu disambut dengan wajah berbinar oleh para sineas muda yang hadir. Sebab di balik setiap naskah film yang mereka tulis, selalu tersimpan kerinduan agar karya mereka bisa hidup, ditonton, dan dibicarakan.

Dari Ruang Rapat ke Layar Lebar

Dalam pertemuan itu, KCFI Sumsel memaparkan sejumlah rencana kegiatan yang bertujuan membangun ekosistem perfilman di daerah.

Salah satunya adalah pelantikan pengurus KCFI Sumsel yang akan digelar di Gedung Bina Praja, Kantor Gubernur Sumsel — sebuah simbol bahwa dunia film kini mulai mendapat tempat di jantung pemerintahan daerah.

Tak berhenti di situ, mereka juga menyiapkan acara Bedah Buku “Perang 120 Jam” di Hotel Swarna Dwipa Palembang.

Buku itu menjadi dasar penyusunan skenario film “Perang Lima Hari Lima Malam di Palembang”, sebuah upaya mengangkat kembali kisah heroik lokal ke layar lebar.

Rencananya, film tersebut akan melibatkan aktor dan aktris nasional, bersanding dengan sineas daerah.

Kolaborasi ini diharapkan menjadi jembatan antara industri film arus utama dan potensi lokal yang selama ini tersembunyi di balik hiruk-pikuk layar televisi Jakarta.

Membangun Ekosistem, Bukan Sekadar Produksi

Dunia film di daerah memang tak mudah tumbuh. Minimnya dana produksi, terbatasnya sarana teknis, dan kurangnya dukungan distribusi sering membuat karya anak daerah berhenti di tahap festival lokal.

Namun, Pemprov Sumsel mulai melihat film bukan hanya sebagai hiburan, melainkan juga investasi budaya.

Film adalah ruang dokumentasi sosial — ia merekam dialek, cara pandang, dan lanskap emosional masyarakat Sumatera Selatan.

Ketika pemerintah membuka pintu bagi sineas, sesungguhnya ia sedang menulis ulang sejarah daerahnya dengan medium paling populer abad ini: sinema.

KCFI Sumsel pun bertekad memperkuat jaringan lintas disiplin: antara akademisi, jurnalis, budayawan, hingga birokrat. Bagi mereka, film tidak bisa tumbuh dalam ruang hampa; ia membutuhkan dukungan lintas sektor agar berkelanjutan.

“Kami ingin membangun bukan hanya film, tapi juga kesadaran kolektif bahwa sinema adalah ruang pendidikan dan kebudayaan,” ujar Yosep Suterisno, Ketua KCFI Sumsel, di sela pertemuan.

Sriwijaya di Balik Layar

Sumatera Selatan, dengan sejarahnya yang panjang sebagai pusat peradaban Sriwijaya, menyimpan kekayaan naratif yang luar biasa: kisah pelaut, peperangan, mitologi sungai, hingga kisah cinta rakyat biasa di tepian Musi. Semua itu adalah bahan mentah yang menunggu disentuh kamera.

Melalui dukungan Pemprov Sumsel, diharapkan lahir lebih banyak karya film yang menampilkan wajah otentik Palembang dan daerah-daerah sekitarnya.

Film yang tak hanya bercerita tentang pahlawan, tapi juga tentang manusia-manusia kecil yang menjadi denyut nadi kebudayaan.

Langkah kecil di ruang rapat itu menjadi awal baru — seakan lampu proyektor telah menyala di dinding panjang sejarah perfilman daerah.

Karena bagi para sineas KCFI Sumsel, membuat film bukan hanya soal kamera dan naskah. Itu adalah cara mereka menyalakan ingatan. Dan kini, Pemprov Sumsel telah memberi mereka panggung — agar cahaya itu tak lagi padam.


Penulis : Ahmad Maulana  | Editor : Imron Supriyadi | Foto: Dok. KCFI Sumsel

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here