
Sabtu malam, 16 Agustus 2025. Langit Palembang teduh, seakan ikut menjaga hening di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kesatria Ksetra Siguntang.
Di sana, cahaya obor berbaris, berpendar di antara nisan-nisan pahlawan. Malam itu bukan malam biasa. Ia adalah malam renungan, malam di mana bangsa menundukkan kepala di hadapan sejarahnya sendiri.
Kapolda Sumsel Irjen Pol. Andi Rian R Djajadi datang bersama Gubernur Herman Deru, Wakil Gubernur Cik Ujang, Ketua DPRD Andie Dinialdie, Kajati Yulianto, hingga jajaran Forkopimda, TNI, dan Polri. Mereka duduk khidmat, melebur dalam satu barisan. Tak ada pangkat, tak ada jarak. Yang tersisa hanya kesadaran: di bawah tanah ini bersemayam orang-orang yang memberi segalanya untuk negeri.
Api Obor, Api Kesadaran
Rangkaian upacara dimulai dengan penyalaan api obor induk. Nyala itu sederhana, tapi sarat makna. Seperti mengingatkan kita bahwa semangat perjuangan tak boleh padam. Ia harus terus dijaga, diturunkan, diwariskan.
Lalu, naskah Apel Kehormatan dan Renungan Suci dibacakan. Suasana sunyi. Semua kepala tertunduk. Saat mengheningkan cipta, yang terdengar hanya desir angin malam dan bisikan hati masing-masing.
Bagi sebagian orang, hening itu adalah doa. Bagi yang lain, hening itu adalah teguran: sudahkah kita mengisi kemerdekaan ini dengan kerja keras, dengan kejujuran, dengan cinta pada sesama?
Inspirasi dari Bumi Sriwijaya
Kabid Humas Polda Sumsel, Kombes Pol. Nandang Mu’min Wijaya, berkata: “Kegiatan ini merupakan bentuk penghormatan kepada para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, sekaligus mengingatkan kita semua akan nilai-nilai perjuangan yang harus terus dijaga.”
Kalimat itu, bila direnungkan, bukan hanya penjelasan acara. Ia adalah pesan kehidupan. Karena hidup sejatinya juga perjuangan. Kita semua punya “pahlawan” dalam lingkup kecil—orang tua yang bekerja tanpa lelah, guru yang mengajar dengan sabar, sahabat yang selalu setia mendampingi.
Hening yang Menyentuh
Upacara ditutup dengan penghormatan terakhir oleh gabungan personel TNI-Polri. Gerakan hormat di bawah cahaya obor itu tampak begitu sederhana, namun di baliknya tersimpan janji: janji bahwa pengorbanan para pahlawan tak akan sia-sia.
Dari TMP Kesatria Ksetra Siguntang, malam itu, kita belajar satu hal penting: inspirasi tidak selalu datang dari panggung besar atau sorak sorai. Kadang, ia hadir dari hening yang khidmat, dari doa yang lirih, dari langkah sederhana menundukkan kepala di hadapan nisan.
Menghidupkan Semangat dalam Kehidupan
Malam renungan suci bukan hanya tentang mengenang mereka yang telah gugur. Ia adalah ajakan agar kita yang hidup hari ini berani melanjutkan perjuangan—dengan cara kita sendiri.
Seorang siswa yang hadir malam itu berkata lirih, “Saya jadi sadar, kemerdekaan itu tidak gratis. Ada yang harus dibayar mahal. Tugas kita sekarang menjaga agar pengorbanan itu tidak sia-sia.”
Kalimat polos itu mungkin terdengar sederhana, tapi justru di situlah letak inspirasinya. Setiap orang bisa berkontribusi. Tidak harus dengan senjata, tidak harus dengan pengorbanan nyawa. Cukup dengan bekerja jujur, belajar sungguh-sungguh, dan saling menghormati.
TEKS : YULIE AFRIANI | EDITOR : IMRON SUPRIYADI