Di sebuah ruangan yang sejuk di Jakarta, Rabu pagi (10/9/2025), Menteri Agama Nasaruddin Umar berdiri tegap di podium. Wajahnya menahan haru.
Di hadapannya, bukan sekadar para pejabat, tapi juga jejak panjang sejarah penyelenggaraan ibadah haji yang sudah tujuh dasawarsa diemban Kementerian Agama. “Alhamdulillah,” ucapnya lirih tapi jelas, “Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia 2025 mencapai 88,46. Lebih tinggi daripada tahun lalu. Ini milik kita semua.”
Kalimat itu mungkin terdengar sederhana. Namun di balik angka 88,46, ada doa-doa para ibu, langkah tertatih para bapak, juga kerja diam-diam para petugas haji yang tak pernah kita kenal namanya. Ada “peluh yang menjadi ibadah” — begitu kira-kira Ahmad Tohari akan menuliskannya.
Seperti Air Mengalir di Tanah Suci
Sejak 2010, Kementerian Agama rutin mengukur kepuasan jemaah haji. Survei tahun ini menjadi penanda sejarah: survei terakhir dalam kapasitas Kemenag sebagai penyelenggara. Tugas itu akan beralih ke Kementerian Haji dan Umrah.
Bagi Nasaruddin Umar, angka 88,46 itu bukan sekadar skor. Ia semacam air yang mengalir — jernih, menyuburkan, dan membawa kesejukan di tengah padang pasir kritik. “Di balik setiap poin ada senyum, ada haru,” katanya.
Dalam senyum itu, mungkin ada Pak Haji dari desa kecil di Madura yang untuk pertama kali mencium Hajar Aswad. Dalam haru itu, mungkin ada Bu Hajjah dari kampung pinggir sungai Kapuas yang bertahun-tahun menabung uang receh untuk berangkat ke tanah suci.
Layanan yang Membentuk Ibadah
Survei BPS tahun ini melibatkan 14.400 jemaah haji — 6.400 gelombang pertama dan 8.000 gelombang kedua. Mereka menilai sepuluh aspek layanan: transportasi, akomodasi, konsumsi, hingga pelayanan ibadah.
Tujuh aspek naik nilainya. Layanan ibadah mencatat skor 89,45 — “Sangat Memuaskan.” Seolah menjadi penegas bahwa inti dari perjalanan ini adalah ibadah, bukan sekadar logistik.
Ada rasa lega bahwa di tengah padatnya program, para jemaah masih merasa terlayani dalam urusan yang paling utama: mendekat kepada Allah.
Tim peneliti tak cuma membagi kuesioner. Mereka juga mewawancarai, mengamati, dan mencatat dinamika di tujuh titik penting: Bandara Madinah, Bandara Jeddah, Makkah pra-Armuzna, Armuzna, hingga pasca-Armuzna. Ini bukan riset kering, tapi semacam jurnal perjalanan yang memotret denyut kehidupan jemaah.
Multi Syarikah: Tantangan di Tengah Padang Pasir
Penyelenggaraan haji 2025 juga kali pertama menerapkan sistem multi syarikah. Artinya, ada lebih banyak penyedia layanan, lebih kompleks pengaturannya. Masalah pun muncul: penempatan hotel yang sempat terpisah, konsumsi yang tertunda, transportasi yang harus menyesuaikan.
Namun survei BPS menunjukkan layanan hotel tetap “Sangat Memuaskan,” sementara konsumsi dan transportasi “Memuaskan.” Artinya, meski badai datang, kapal tetap bisa berlayar.
Ini adalah kerja kolektif: para petugas yang rela bangun sebelum Subuh dan tidur setelah Isya demi memastikan “tamu-tamu Allah” nyaman beribadah.
Kerja Sunyi yang Menghidupi Ibadah Besar
Di podium itu, Nasaruddin Umar menyebut satu per satu pihak yang berperan: Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, kementerian/lembaga terkait, Pemerintah Arab Saudi, Kedutaan Besar Arab Saudi, dan tentu Badan Pusat Statistik (BPS) yang setia mengukur kualitas layanan selama 14 tahun.
Tapi di luar nama-nama besar, ada pula nama-nama kecil yang tak pernah masuk berita: sopir bus Shalawat, juru masak dapur katering Armuzna, petugas medis yang berjaga di bawah tenda, hingga relawan yang menuntun jamaah lansia. Di tangan mereka, ibadah haji Indonesia menemukan wajahnya yang paling manusiawi.
Salam Penutup dan Permohonan Maaf
Dalam nuansa religius, Menag menyampaikan permintaan maaf. “Terima kasih atas kepercayaan dan kesabarannya. Semoga seluruh Bapak/Ibu sekalian menjadi haji yang mabrur dan mabruroh,” ujarnya. Kalimat itu bagai doa penutup dalam sebuah khataman Qur’an; penuh rendah hati, penuh pengharapan.
Bagi masyarakat Muslim Indonesia, ucapan itu bukan hanya formalitas. Ia seperti tangan yang terulur — memohon doa agar tugas besar yang diakhiri dengan capaian membanggakan ini mendapat ridha Allah. Dalam tradisi pesantren, doa semacam itu lebih sakral ketimbang pidato panjang.
Menyongsong Era Baru Pelayanan Haji
Seiring beralihnya tanggung jawab ke Kementerian Haji dan Umrah, publik Muslim Indonesia tentu berharap layanan ini makin baik.
Era baru membuka peluang digitalisasi yang lebih luas: antrean virtual, hotel terintegrasi, transportasi cerdas. Namun, nilai utama — melayani tamu Allah dengan sepenuh hati — tak boleh hilang di balik teknologi.
Bagi Kemenag, capaian ini adalah warisan. Bagi umat Islam Indonesia, ini adalah inspirasi bahwa kerja ikhlas, meski dilakukan senyap, akan berbuah manis. Seperti ungkapan para kiai di desa: “Sing sapa nandur kebecikan, bakal ngundhuh kebaikan” — siapa menanam kebaikan, akan menuai keberkahan.
TEKS : RELEASE/YULIE AFRIANI | EDITOR : IMRON SUPRIYADI