Beranda Agama Shalat: Pelipur Lara di Tengah Riuh Hidup

Shalat: Pelipur Lara di Tengah Riuh Hidup

66
0
BERBAGI
FOTO : Seorang sedag shalat di sebuah masjid (Sumber : tafaqquh.net)

Di sebuah mushala kecil di pinggir kota Palembang, seorang bapak paruh baya tampak menunduk lama setelah salam. Hening, kecuali napasnya yang berat.

Tadi pagi ia baru kehilangan pekerjaan. Namun bukan hanya rezeki yang ia cari di sajadah itu. Ia mencari tenang. Ia mencari pelipur. Seperti firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 45:

وَٱسۡتَعِینُوا۟ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِیرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَـٰشِعِینَ
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”

Ayat ini seolah jadi pegangan. Di saat manusia dihempas gundah, justru shalatlah tempat ia berteduh. Bukankah kita sering mendengar, hidup ini tak lepas dari nikmat dan ujian?

Sebanyak apa pun nikmat yang Allah karuniakan, tetap saja manusia akan mengalami masa-masa gelisah. Gelisah itulah yang menggerogoti jiwa — bagian paling halus dari manusia yang sejak dalam kandungan sudah ditiupkan malaikat.

Ruh: Nafas yang Menjaga Hidup

Ahmad Tohari sering menghadirkan tokoh yang sederhana tapi penuh hikmah. Dalam kehidupan nyata pun kita begitu.

Kita hidup karena ruh. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa saat ruh ditiupkan pada janin, mulailah kehidupan sejati manusia. Tanpa ruh, raga hanyalah cangkang kosong.

Karena itu, menjaga jiwa sama pentingnya dengan menjaga tubuh. Jiwa yang tenteram melahirkan hidup yang tenteram pula.

Allah berfirman dalam Surah Ar-Rūm ayat 30 tentang fitrah manusia: Islam.

Fitrah itu bersih, lurus, mengajak kita menuju kebaikan. Ia seperti air jernih yang mengalir dari mata air.

Namun air itu bisa keruh jika kita biarkan kotoran memenuhi alirannya. Maka, agama adalah cara kita menjaga jernihnya fitrah itu.

Hati: Segumpal Daging yang Menentukan

Rasulullah ﷺ pernah bersabda tentang segumpal daging di dalam dada manusia — hati. Jika hati itu baik, baiklah seluruh jasadnya. Jika ia rusak, rusaklah seluruh jasadnya.

Betapa sederhana tapi tajam makna ini. Seolah kita diingatkan: jaga hati, karena dari situ lahir keteguhan iman dan ketenangan hidup.

Maka tidak heran, Islam menaruh perhatian besar pada ibadah yang menyentuh langsung jiwa: shalat.

Shalat: Tiang dan Pelipur

Dalam keseharian kita, shalat sering disebut tiang agama. Tiang ini menopang bangunan keimanan kita. Jika tiang itu kokoh, bangunan pun tak mudah runtuh.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Hal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba di hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik maka seluruh amalnya pun baik.” (HR. At-Thabarani).

Betapa shalat bukan hanya formalitas lima waktu. Ia pelipur masalah hidup manusia. Ia tempat kita mengadu, memohon, mengakui kelemahan di hadapan Allah.

Ketika semua daya upaya terasa sia-sia, sajadah menjadi pelabuhan terakhir — bahkan terkuat.

Meneladani Rasulullah ﷺ

Kita membaca kisah Hudzaifah Ibn Al-Yaman r.a., ia berkata: “Apabila suatu kesulitan menimpa Rasulullah saw, maka beliau shalat.” (Fathul Bari, 3/172).

Betapa jelas teladan ini. Bahkan Nabi yang maksum pun menenangkan diri dengan shalat, apalagi kita.

Ada semacam energi yang kita serap setiap kali berdiri, rukuk, sujud, dan duduk di hadapan Allah.

Energi itu berupa ketenangan, kekuatan batin, sekaligus harapan. Kita belajar bahwa beban masalah tak selalu berkurang, tapi jiwa kita dilapangkan untuk memikulnya.

Hikmah yang Menghidupkan

Di balik perintah shalat lima waktu — ditambah sunnah-sunnahnya — ada rahasia besar: Allah mendidik kita untuk kembali pada-Nya, berulang kali, setiap hari.

Kita tak dibiarkan hanyut dalam urusan dunia terlalu lama. Kita ditarik sejenak untuk sujud, mengakui kelemahan, dan pulang pada fitrah.

Ahmad Tohari dalam novelnya sering memotret rakyat jelata yang menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan.

Begitu pula shalat: sederhana tapi menyelamatkan. Ia mengajari kita bahwa kunci ketenangan bukan pada gemerlap dunia, tapi pada kedekatan kita dengan Allah. Shalat menjadi ruang sunyi, ruang jeda di antara riuh hidup.

Akhir yang Menyejukkan

Sore itu, bapak paruh baya di mushala tadi bangkit dari sujud terakhirnya. Air matanya jatuh, bukan hanya karena sedih, tapi juga karena lega.

Di tengah masalah yang belum selesai, ia merasakan ada yang memeluk jiwanya. Ada sesuatu yang membuatnya sanggup bangkit lagi esok hari: shalatnya.

Itulah pelajaran yang Islam tawarkan. Shalat bukan sekadar kewajiban, tetapi terapi batin. Pelipur lara yang membuat kita tetap waras di tengah badai hidup. Pelita kecil yang menerangi ruang paling gelap dalam jiwa manusia. Wallâhu A‘lam.

Teks Asli : tafaqquh.net

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here