Beranda Budaya Seniman Muara Enim Gelar Nobar Film “Mother Earth”, Ajak Pemerintah Daerah Perkuat...

Seniman Muara Enim Gelar Nobar Film “Mother Earth”, Ajak Pemerintah Daerah Perkuat Pelestarian Budaya Semende

63
0
BERBAGI
ILUSTRASI/FOTO : Poster Film "Mother Eart" (Sumber : igmtvnews.com/diolah)
Koordinator Kegiatan, Ihsanul Fikri

MUARA ENIM | Inspirasinews.com – Dalam rangka memperkuat pelestarian nilai budaya lokal dan mendukung maksimalisasi pengurus dan kegiatan Dewan Kesenian Kabupaten Muara Enim, Solidaritas Pegiat Seni (SPS) Muara Enim menggelar kegiatan Nonton Bareng (Nobar) Film Dokumenter “Mother Earth: Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang”, Senin malam (3/11/2025), di halaman Gedung Kesenian Putri Dayang Rindu.

Kegiatan ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, termasuk pemerintah daerah, yang melihatnya sebagai langkah nyata seniman dalam menghidupkan kembali semangat kebudayaan dan identitas Bumi Serasan Sekundang.

Koordinator kegiatan, Ihsanul Fikri, menyampaikan bahwa Nobar ini menjadi ruang kebersamaan antara pemerintah daerah, pegiat seni, dan masyarakat.

“Melalui kegiatan ini, kami ingin membuka kembali ruang dialog budaya, agar Dewan Kesenian Muara Enim dapat segera aktif dan berperan dalam membina serta mendukung karya seni daerah,” ujarnya.

Selain pemutaran film, Fikri menjelaskan, acara juga dimeriahkan dengan pertunjukan silat kuntau, pembacaan puisi, dan musik keroncong, dikemas secara santai dengan konsep duduk lesehan di helipad Gedung Kesenian.

Film “Mother Earth” sendiri mengangkat tradisi adat Tunggu Tubang masyarakat Semende, sebuah sistem matrilineal yang menempatkan perempuan sebagai penjaga warisan rumah dan sawah.

Film ini menjadi refleksi penting tentang kearifan lokal, ketahanan pangan, dan pelestarian lingkungan, yang turut didukung oleh Kementerian Kebudayaan melalui LPDP dan Dana Indonesia.

Fikri menagatakan, Pemerintah Kabupaten Muara Enim menyambut baik inisiatif para seniman ini dan berharap kegiatan serupa dapat terus dilakukan sebagai bagian dari upaya menjaga warisan budaya dan memperkuat semangat berkesenian di daerah.

Sekilas film Mother Eart

dokumenter Mother Earth: Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang, karya komunitas Ghompok Kolektif Palembang.

Film berdurasi hampir satu jam ini bukan sekadar potret budaya, tapi perenungan panjang tentang bagaimana sebuah tradisi adat di pedalaman Sumatera Selatan menyimpan jawaban atas krisis pangan dan perubahan iklim.

Proyek yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan melalui LPDP dan Dana Indonesia itu digarap selama setahun penuh oleh dua puluhan anak muda Palembang.

“Kami ingin menunjukkan bahwa tradisi bukan barang usang,” kata Ahmad Rizki Prabu, produser film ini. “Dalam Tunggu Tubang, kami melihat strategi bertahan hidup yang ekologis dan manusiawi.”

Tunggu Tubang adalah sistem adat matrilineal di masyarakat Semende, Kabupaten Muara Enim.

Perempuan tertua dalam keluarga menjadi pewaris rumah dan sawah, bukan demi kekuasaan, melainkan tanggung jawab menjaga sumber pangan.

Dalam sistem ini, harmoni manusia dan alam menjadi prinsip hidup, bukan jargon pembangunan.

Sutradara Muhammad Tohir, alumnus UIN Raden Fatah, menuturkan film ini lahir dari kekagumannya pada kearifan lokal yang “tetap berdiri tegak di tengah gempuran modernitas.”

“Sistem ini sudah berjalan ratusan tahun dan masih relevan dengan dunia hari ini,” katanya. “Ia menunjukkan bagaimana manusia bisa hidup tanpa harus merusak bumi.”

Film tersebut diseminasi pada awal November dan disaksikan oleh kalangan akademisi, seniman, serta pejabat Dinas Kebudayaan Sumatera Selatan.

Dian Permata Suri, Kepala Seksi Nilai Budaya dan Bahasa Daerah, menyebut film ini sebagai “amunisi kultural” untuk memperkuat pengusulan Tunggu Tubang sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) tahun 2026.

Sementara Dedi Afrianto, pamong budaya, menyebut karya ini sebagai bukti bahwa generasi muda Sumatera Selatan mampu menghadirkan karya riset-budaya yang menembus panggung nasional.

Tak hanya film, proyek ini juga melahirkan buku foto berjudul Badah Puyang — hasil eksplorasi visual atas kehidupan masyarakat adat Semende. Dalam diskusi pascapemutaran, Eliana, salah satu Tunggu Tubang yang menjadi narasumber, menegaskan,

“Selama sawah masih basah dan rumah masih berdiri, kami akan terus menjaga warisan ini.”

Lebih dari sekadar dokumenter, Mother Earth adalah catatan tentang perlawanan yang tenang — bagaimana perempuan, melalui kearifan turun-temurun, menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan masa depan.

Teks: Ahmad Maulana  |  Editor : Imron Supriyadi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here