MUARAENIM, Inspirasinews.com – Masjid Muzakir siang itu, Selasa (19 November 2025) terasa berbeda.
Tepat pukul 13.30 WIB, suasananya bukan hanya teduh, tetapi juga hangat oleh barisan warga binaan yang datang dengan wajah sumringah.
Mereka mengenakan baju putih bersih, peci hitam, sebagian bersarung, sebagian lagi bercelana panjang. Duduk rapi, tertib, dan tenang—seolah sedang menyiapkan hati untuk sebuah perjalanan batin yang baru.
Tidak tampak sedikit pun bayang-bayang stigma yang selama ini dilekatkan kepada para warga binaan. Tidak ada wajah seram, tidak ada sorot mata yang menantang.

Yang tampak justru kelembutan, keinginan untuk berubah, dan harapan untuk kembali menjadi bagian keluarga yang menunggu di rumah.
Mereka hadir untuk menyaksikan penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara Lapas Kelas IIB Muaraenim dan Kementerian Agama Kabupaten Muaraenim, sebuah program pembinaan ruhani Islam berbasis pesantren, khusus bagi warga binaan.
Masjid yang selama ini menjadi ruang ibadah, kini menjadi saksi bahwa pembinaan keagamaan adalah jalan pulang bagi banyak hati yang pernah tersesat.
Masjid yang Membuka Kesadaran
Dalam sambutannya, Kalapas Auliya Zulfahmi menceritakan kegelisahan yang ia rasakan sejak pertama kali bertugas.
“Dalam sebulan ini saya perhatikan shalat berjamaah di sini,” ujarnya. “Dari 1.200 warga binaan—99,98 persen Muslim—masjid ini tidak penuh.”
Kegelisahan itu menjadi pemantik perubahan. Ia mewajibkan salat berjamaah bergiliran, agar masjid kembali hidup. Tidak hanya itu, kerja sama dengan Kemenag diharapkan menjadi titik awal perbaikan ibadah warga binaan.
“Perbaiki bacaan shalat, terutama Al-Fatihah. Tambah ilmu agama. Jangan malu belajar,” pesannya.
“Awalnya sulit, tapi harus dipaksa. Supaya ada hidayah. Agar perilaku berubah, disiplin terbentuk, dan hati lebih dekat dengan Allah.”
Di hadapan warga binaan yang mendengarkan dengan khusyuk, pesannya mengalir lembut, lebih seperti teguran seorang kakak daripada perintah seorang pemimpin.
Lapas: Tempat Melatih Hati
Kepala Kemenag Muaraenim, H. Abdul Harris Putra, memberi sudut pandang yang menenangkan. “Lapas ini bukan tempat menakutkan,” katanya. “Justru di sini bapak-bapak punya waktu untuk fokus. Untuk menata niat. Untuk belajar.”

Ia mengingatkan bahwa masa lalu tidak perlu diungkit—karena pembinaan dimulai dari niat. “Belajar Al-Fatihah, belajar mengaji… lakukan sesuai kemampuan. Jangan bilang sulit. Yang penting mau belajar.”
Ia menyebut Lapas sebagai tempat melatih diri, bukan tempat untuk mematahkan semangat. “Di rumah, ada istri dan anak yang menunggu. Mereka berharap bapak pulang sebagai orang yang lebih baik.”
Cerita Perubahan dari Jeruji
KH Taufik Hidayat, Pimpinan Ponpes Laa Roiba, hadir dengan sentuhan ruhani yang khas. Kata-katanya sederhana, namun mengalir ke hati.
“Tidak semua orang di luar itu baik,” katanya pelan. “Dan tidak semua orang di dalam sini buruk. Banyak dari kalian adalah orang baik yang sedang belajar memperbaiki diri.”
Ia kemudian bercerita tentang seorang warga binaan yang selama di dalam lapas tekun belajar mengolah singkong. Setelah bebas, ia membuka usaha besar dan membantu kawan-kawannya yang dulu sama-sama berada di balik jeruji.
“Itu bukti,” katanya, “bahwa perubahan adalah mungkin. Asal ada kemauan.”
Namun ia menegaskan bahwa perubahan membutuhkan syarat: meninggalkan kebiasaan lama.
“Hijrah itu bukan sekadar pindah tempat, tapi pindah perilaku. Lapas ini tempat melahirkan sikap baru. Kuncinya: kemauan yang sungguh-sungguh.”
Mengikis Stigma, Merawat Jalan Kembali
Kakan Kemenag Abdul Harris juga menyinggung masyarakat di luar tembok lapas. Menurutnya, masyarakat sering lupa bahwa mantan warga binaan juga manusia yang ingin berubah.
“Jangan tuduh yang tidak-tidak,” tegasnya. “Itu membuat mereka kecil hati. Bahkan bisa kembali pada pekerjaan lama.”
Ia meminta masyarakat membuka pintu, bukan menutup peluang. “Bina dengan kata yang baik. Ajak pada kebaikan. Agar perubahan itu benar-benar menjadi nyata.”
Cahaya dari Sebuah Buku
Acara ditutup dengan penyerahan buku “Menyemai Cahaya Kata” karya KH Taufik Hidayat—buku yang berisi materi ibadah praktis yang kelak menjadi pegangan warga binaan dalam belajar agama.

Ketika satu per satu warga binaan bangkit dari saf, baju putih mereka memantulkan cahaya sore yang masuk dari jendela masjid.
Ada sesuatu yang berubah hari itu. Bukan hanya pada program pembinaan, tetapi juga pada mata-mata yang lebih mantap memandang ke depan.
Di Masjid Muzakir, mereka bukan sekadar warga binaan.
Mereka adalah hamba-hamba Allah yang sedang mencari jalan pulang.**
TEKS/FOTO : Tim PP Laa Roiba | Editor : Imron Supriyadi



















