Beranda Budaya Nak, Tuhan Tuhan Kasih Kuping Kita Dua…

Nak, Tuhan Tuhan Kasih Kuping Kita Dua…

21
0
BERBAGI
Ilustras : Gambar Dua Telinga (Foto.Ngasoi.vn)

Cerpen: Imron Supriyadi

Pagi itu, angin berembus perlahan dari balik jendela. Tapi Andika pulang sekolah seperti sedang memikul beban dunia. Raut wajahnya kusut, dan langkahnya terseret—seolah-olah seluruh kejadian pagi tadi bersekongkol merampas semangatnya.

Tanpa banyak bicara, tasnya digeletakkan di atas sofa. Sepatu dilepas tanpa arah, menabrak kaki kursi. Jaketnya dilempar begitu saja, terbang dan mendarat tak tentu arah.

Dari dapur, Ibunya mendengar semua bunyi itu. Tapi ia tidak beranjak. Kedua tangannya tetap menari di atas talenan, memotong kangkung dengan ketenangan seorang perempuan desa yang sudah kenyang menghadapi badai kehidupan.

Setelah beberapa saat, barulah sang ibu keluar dari dapur. Ia mendekati Andika yang duduk membisu di ruang tamu. Tanpa bertanya macam-macam, beliau duduk di samping anak semata wayangnya itu.

Dengan suara tenang seperti desir daun pisang diterpa angin sore, sang ibu membuka percakapan,

“Ada apa, Nak? Mukamu seperti sandal hilang sebelah. Jalan masih bisa, tapi ganjil.”

Andika menarik napas panjang.

“Aku ribut sama Rafi, Bu. Katanya aku ngomongin dia di belakang. Padahal aku cuma cerita. Cuma bilang dia itu pelupa.”

Ibu mengangguk perlahan, seperti sedang membenarkan posisi angin di dadanya.

“Lalu kenapa kamu cerita itu ke teman-temanmu, Nak?”

Andika menatap langit-langit.

“Aku… cuma iseng. Teman-teman juga tahu kok kalau Rafi itu pelupa.”

Ibu tak segera menjawab. Ia menatap wajah anaknya, seperti menelisik lebih dalam dari sekadar kata. Lalu, dengan nada pelan, ia bertanya:

“Nak, kamu tahu nggak bedanya antara ‘miskomunikasi’ dan ‘diskomunikasi’?”

Andika menggeleng.

“Miskomunikasi itu seperti kamu ngomong, tapi sinyalnya putus di tengah jalan. Akhirnya, orang yang kamu ajak bicara dapat pesan yang beda dari maksudmu. Tapi diskomunikasi… lebih sunyi lagi. Dua orang duduk berdampingan, tapi diam seperti patung batu. Tidak bicara. Tidak mendengar. Tidak mau tahu. Hati mereka sudah saling memblokir.”

Andika diam sejenak. “Jadi aku dan Rafi itu miskomunikasi, ya, Bu?”

“Mungkin begitu, Nak. Kamu pikir sedang bercanda, tapi Rafi merasa kamu merendahkan dia. Salahnya bukan hanya pada kata-kata, tapi juga pada waktu dan cara menyampaikannya.”

Anak itu tertunduk.

“Jadi, aku yang salah, Bu?”

Ibunya tersenyum tipis.

“Nak, dalam hidup ini tidak selalu soal siapa yang salah. Tapi siapa yang mau belajar dan memperbaiki. Kadang kita menuang teh ke gelas orang, maksudnya menghangatkan, eh malah kepanasan dan melukai.”

Hening sebentar.

Lalu Andika mengangkat kepalanya, sorot matanya dalam dan penuh tanya.

“Bu… kenapa ya orang sering kali suka ghibah? Apa karena benci sama orang yang digunjingkan? Atau karena… iri?”

Ibu menatap anaknya dengan tatapan yang sarat dengan kasih dan kebijaksanaan.

“Nak, kalau ada orang yang ghibah, sebenarnya dia bukan sedang merendahkan orang yang dibicarakan. Tapi, ia sedang memamerkan kualitas dirinya sendiri di depan orang banyak. Sayangnya, ia tak sadar kalau yang ia pamerkan itu justru kekurangan. Ia sedang menelanjangi kekerdilan dirinya sendiri. Ghibah itu bukan soal benci, tapi soal luka dan rendahnya jiwa.”

Andika menelan ludah.

“Jadi… bukan cuma yang digunjingkan yang terluka?”

“Betul, Nak. Yang menggibah pun menggali luka di hatinya sendiri. Kata Nabi, ghibah itu seperti makan bangkai saudaramu sendiri. Bayangkan, kamu mengunyah daging sahabatmu di depan orang lain sambil tertawa.”

Lalu ibunya menatap jendela yang terbuka. Suara burung gereja mengisi ruang tamu yang mulai diterpa senja.

“Tuhan, Nak, memberi kita dua kuping dan hanya satu mulut. Itu isyarat: lebih banyaklah mendengar, dan sedikitlah berbicara. Apalagi kalau bicaramu hanya menebar luka.”

Keesokan paginya, Andika datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Ia tak sempat belajar semalam, pikirannya penuh dengan satu niat: minta maaf. Ia tidak ingin kehilangan Rafi hanya karena satu kalimat yang tak bijak.

Di kantin, ia melihat Rafi duduk sendiri. Memandangi nasi goreng yang belum disentuh, seperti anak ayam kehilangan induk.

Andika berjalan pelan. Lalu duduk di kursi sebelahnya.

“Rafi…”

Rafi menoleh.

“Ya?”

“Aku minta maaf. Yang kemarin itu… aku cuma bercanda. Tapi ternyata tidak lucu buatmu. Aku benar-benar menyesal.”

Rafi diam beberapa detik.

“Aku juga terlalu cepat naik darah, mungkin. Tapi… memang aku tersinggung.”

“Aku nggak mau kita jadi kayak orang asing, Rafi.”

Rafi membuka sakunya. Ia mengeluarkan dua permen rasa anggur, lalu menyodorkan satu ke Andika.

“Kemarin aku beli ini. Satu buat kamu. Tapi aku sempat mikir, jangan-jangan kamu nggak pantas lagi dikasih.”

Andika tertawa kecil.

“Permen ini… hadiah perdamaian ya.”

Keduanya tersenyum. Tak ada peluk-pelukan dramatis. Tak ada air mata. Hanya permen kecil dan hati yang kembali saling membuka.

Malam harinya, Andika pulang dengan langkah ringan. Di rumah, ibunya sedang membuat teh hangat. Aroma daun pandan menyambut dari dapur.

“Bu,” seru Andika sambil duduk di ruang tamu. “Aku dan Rafi sudah baikan. Permen anggur jadi saksinya.”

Sang Ibu menoleh, tersenyum.

“Alhamdulillah. Damainya dunia ini, Nak, kadang cukup dimulai dari hati yang mau minta maaf dan hati yang mau memaafkan.”

Andika menyeruput teh yang baru saja dituangkan. Hangatnya meresap sampai ke dada.

“Hari ini aku belajar sesuatu, Bu. Lebih baik kehilangan argumen, daripada kehilangan sahabat.”

“Dan itu, Nak, pelajaran yang tak akan kau temukan di dalam buku pelajaran sekolah.”

Malam itu, Andika duduk di meja belajarnya. Ia menulis pelan di atas secarik kertas:

“Terkadang manusia terlalu sibuk memoles kata-kata, sampai lupa bahwa yang lebih penting adalah membersihkan hati. Dan kadang, Tuhan menyelipkan pelajaran lewat permen anggur, dan seorang ibu yang sabarnya tak pernah kering.” (Andika, 1 Juni 2025 – Ponpes Laa Roiba, Muaraenim)

Muaraenim, 01 Juni 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here