

Zakat bukan sekadar kewajiban ritual atau ritual akhir bulan Ramadhan. Ia adalah instrumen ekonomi, sosial, dan moral yang memberi makna nyata bagi pembangunan keadilan dan kesejahteraan umat.
Namun selama ini, salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan zakat adalah kesenjangan antara potensi dan realisasi. Di Sumatera Selatan, potensi zakat yang besar belum sepenuhnya terserap — dan untuk menutup jurang ini, kita memerlukan strategi baru yang menyentuh hati dan pikiran warga, serta kepemimpinan baru yang kredibel dan visioner.
Sebagai Kakanwil Kementerian Agama Sumatera Selatan, saya melihat bahwa perubahan kepemimpinan Baznas saja tidak cukup. Kepemimpinan itu harus dibarengi dengan strategi komunikasi Islami, mekanisme pelayanan cerdas, dan inovasi media dakwah zakat yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kita.
Potensi Zakat Sumsel: Angka dan Kesenjangan
Beberapa kajian menunjukkan betapa besarnya peluang pengembangan zakat di Sumatera Selatan. Dalam kajian “Aspek Hukum Pemberdayaan Zakat di Sumatera Selatan” disebutkan bahwa potensi zakat di Sumsel mencapai sekitar Rp 2,3 triliun per tahun. (Journal FH Unsri)
Selain itu, kajian Indikator Pemetaan Potensi Zakat Provinsi, Kabupaten, dan Kota dari Puskas BAZNAS memasukkan Sumatera Selatan dalam wilayah dengan potensi zakat signifikan (puskasbaznas.com)
BACA ARTIKEL TERKAIT :
Namun kenyataannya, realisasi penghimpunan jauh di bawah potensi itu. Dalam banyak penelitian zakat nasional, dibandingkan potensi zakat nasional sebesar Rp 217 triliun per tahun, realisasi yang dihimpun lembaga-lembaga zakat nasional masih berada di kisaran ~1 % atau bahkan kurang. (Sofyan Hasan dan Taroman Pasyah : ejournal.iaiqi.ac.id)

Kalau kita analogikan di tingkat provinsi: jika Sumsel memiliki potensi ~Rp 2,3 triliun, tetapi realisasi—katakanlah—hanya 20–30 % dari itu (asumsi konservatif), maka masih ada “kekosongan” lebih dari Rp 1,6–1,8 triliun yang belum tersentuh. Seluruh potensi yang belum terserap itulah ruang dakwah, inovasi, dan tanggung jawab kita sebagai lembaga zakat dan pemerintah.
Mengapa Strategi Baru Dibutuhkan?
Kesenjangan ini tidak muncul karena tidak ada potensi. Ia muncul karena beberapa faktor struktural dan psikologis:
Rendahnya literasi zakat. Banyak warga muslim yang belum memahami jenis zakat, nisab, cara penghitungannya, dan pentingnya menunaikannya melalui lembaga resmi.
Kurangnya kepercayaan terhadap lembaga zakat. Publik kadang meragukan transparansi, akuntabilitas, dan tatakelola lembaga zakat. Bila laporan keuangan, mekanisme distribusi, dan penggunaan dana tidak jelas, masyarakat cenderung memilih “zakat langsung ke mustahik”.
Komunikasi yang belum menyentuh hati. Data statistik saja tidak cukup memberi motivasi. Banyak kampanye zakat yang hanya menampilkan angka-angka, tanpa menyertakan cerita kemanusiaan yang menyentuh.
Kepemimpinan dan inovasi terbatas. Jika pimpinan lembaga zakat tidak punya visi baru yang bisa membumikan zakat dalam kehidupan warga sehari-hari, maka gerakan zakat stagnan.
Oleh karena itu, strategi lama—yang hanya mengandalkan sosialisasi massal—tidak cukup. Strategi baru harus multidimensi, memakai pendekatan psikologi sosial, teknologi informasi, dakwah personal, dan integrasi lembaga.
Empat Pilar Strategi Baru Kesadaran Zakat
Berdasarkan pengalaman di Sumsel dan kajian bidang zakat nasional, saya mengusulkan empat pilar strategi yang bisa mempersempit jarak antara potensi dan realisasi:
1. Narasi Kemanusiaan sebagai Portal Kesadaran
Kampanye zakat harus keluar dari paradigma “hitam-putih angka” menjadi cerita manusia: kisah mustahik yang berubah hidupnya, ibu janda yang mendapat modal usaha, anak yatim yang bisa sekolah kembali. Manusia lebih mudah tersentuh oleh cerita yang mampu merefleksikan realitas mereka sendiri. Narasi semacam ini menciptakan empati, bukan sekadar kewajiban.
2. Segmentasi dan Personalized Communication
Tidak semua warga muslim memiliki tingkat pengetahuan dan motivasi yang sama. Ada kelompok muda profesional, petani, wiraswasta, pegawai negeri, hingga urban-rural. Setiap kelompok memerlukan gaya komunikasi yang berbeda: media sosial untuk kaum muda, dialog komunitas keagamaan untuk desa, tayangan visual untuk massa umum. Personalisasi pesan akan meningkatkan resonansi.
3. Transparansi dan Akuntabilitas Digital
Kepemimpinan baru Baznas mesti menjadikan laporan zakat dapat diakses secara real-time: aplikasi mobile yang memperlihatkan dana masuk, penggunaan, dan dampak yang telah dicapai. Teknologi blockchain, dashboard publik, peta distribusi interaktif—semua ini bukan sekadar gimmick, tetapi alat membangun kepercayaan. Publik bisa melihat bahwa zakat mereka tidak hanya dipungut tetapi disalurkan dengan jelas.
4. Kolaborasi Strategis dan Ekosistem Zakat
Baznas tidak bisa berdiri sendiri. Ia perlu berkolaborasi dengan ormas Islam, masjid, pondok pesantren, lembaga ekonomi syariah, startup fintech syariah, media lokal, dan pemerintah daerah. Dengan menggabungkan jaringan, kita bisa menjangkau wilayah-wilayah terpencil dan menciptakan sinergi dakwah zakat yang kuat.
Peran Pemimpin Baru dalam Menjadi Katalis Zakat
Strategi hebat akan gagal tanpa kepemimpinan baru yang visioner dan amanah. Sosok pemimpin Baznas yang ideal di Sumsel harus memiliki karakter berikut:
- Memiliki integritas moral dan kredibilitas syariah
- Mampu berpikir strategis dan adaptif terhadap perkembangan teknologi
- Berjiwa komunikator, mampu membangun ikatan emosional dengan publik
- Terbuka dan akuntabel—tanpa rahasia dalam laporan dan proses distribusi
- Memiliki pandangan ke depan: bagaimana zakat dapat menjadi elemen pembangunan sosial-ekonomi, bukan sekadar santunan
Kepemimpinan ini harus diberi keleluasaan inovasi, bukan dibelenggu birokrasi. Ia harus diposisikan sebagai penggerak perubahan bukan sekadar pelaksana rutinitas.
Argumentasi Ilmiah dan Kecocokan Syariat
Dalam perspektif syariat Islam, zakat adalah bagian dari tiang sosial yang mengokohkan umat. Sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Taubah ayat 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil, muallaf …”
Kewajiban ini tidak tersekat ruang dan waktu. Umat Islam harus memastikan bahwa zakat berfungsi optimal dalam mengurangi kesenjangan sosial. Jika potensi zakat besar namun tidak digunakan, itu berarti potensi dakwah yang tertunda.
Hadis pun mengingatkan kita bahwa “Hand in hand” dalam kebaikanlah yang meneguhkan amal seseorang. Pemimpin yang menggerakkan warga untuk berzakat dan juga menyalurkan zakat dengan baik, ia bukan saja sebagai amil, tetapi jembatan keberkahan bagi umat.
Kajian Sumsel sebagai Laboratorium Transformasi
Sumatera Selatan, dengan potensi zakat ~Rp 2,3 triliun, dapat dijadikan laboratorium transformasi zakat modern di Indonesia. Jika kita bisa menutup setidaknya 50–60 % potensi itu dalam 3–5 tahun ke depan, maka Sumsel akan menjadi contoh bagi provinsi lain di Pulau Sumatra atau Nusantara.
Sejumlah penelitian distribusi zakat BAZNAS Sumsel menunjukkan bahwa zakat yang telah didistribusikan lewat program-progam seperti Sumsel Peduli, Sumsel Sehat, Sumsel Makmur, Sumsel Taqwa, dan Sumsel Cerdas memiliki dampak nyata terhadap kesejahteraan mustahik Kuto, misalnya (ejournal.iaiqi.ac.id)
Namun efektivitas ini belum cukup dibarengi dengan kesadaran masyarakat membayar zakat melalui lembaga resmi. Di sinilah letak ujian kita: bagaimana mengubah paradigma masyarakat agar zakat bukan saja dibayar saat wajib, tetapi menjadi bagian dari gaya hidup sosial.
Menuju Revolusi Zakat di Sumsel
Jika kita ingin melihat perubahan nyata – pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi umat, kohesi sosial, dan keadilan – maka zakat harus menjadi instrumen yang diperkuat, bukan dikerdilkan. Kepemimpinan baru Baznas Sumsel bukan hanya soal pergantian nama, melainkan pintu masuk strategi transformasi zakat.
Saya yakin, bila warga menyadari bahwa zakat tidak hilang di jalan, bila mereka melihat setiap rupiah zakat mereka dikelola secara transparan, dan bila mereka mendengar kisah manusia yang diubah hidupnya oleh zakat, maka kesadaran membayar zakat akan tumbuh lebih kokoh.
Oleh karenanya saya menyerukan:
- Mari kita bangun tim komunikasi zakat profesional, di setiap kabupaten/kota, pondok pesantren, dan masjid.
- Mari kita hadirkan dashboard zakat publik yang transparan dan real-time.
- Mari kita ciptakan kampanye naratif yang menyentuh, bukan sekadar angka.
- Dan mari kita pilih pimpinan Baznas Sumsel yang tidak hanya kompeten tetapi memiliki visi “zakat sebagai transformasi umat”.
Dengan itu, Sumatera Selatan dapat melangkah menjadi provinsi percontohan zakat: dari potensi besar menjadi realisasi nyata, dari kesenjangan menjadi keadilan, dari donor pasif menjadi pemberdaya umat. Ketika kepemimpinan baru dan strategi baru berpadu, maka kita akan melihat Sumsel menata kembali wajah zakatnya — sebagai kekuatan sosial-ekonomi umat, bukan sekadar kewajiban agama semata.
Semoga Allah memudahkan langkah kita, meridhai usaha kita, dan menjadikan zakat kita sebagai jalan kemuliaan bangsa dan umat. Aamiin.
Palembang, 27 September 2025